“Ya ampun Ana bisa ngabisin seratus lima puluh ribu untuk beli novel? Mendingan buat beli baju deh.”“Ya ampun, Na, kamu ngapain beli novel kaya gini? Emangnya dibaca?”
Oke,
namaku Ana dan aku anak gaul #eh yang suka ngabisin
duit buat beli buku dan novel, kadang juga komik. Kisah ini dimulai setelah aku
membeli novel terjemahan terbaru karya J.K Rowling (pada tahu kan, itu tuh
ibunya Harry Potter? Oke skip ini)
berjudul ‘The Casual Vacancy’ yang kebetulan seharga seratus lima puluh ribu
rupiah. Sebenarnya standar sih, karena yah,
kita tahu kan karya sastra itu mahal
harganya, ide itu mahal harganya, dan karya sastra wajib dihargai dengan nilai
yang pantas.
Sore
itu sehabis mandi aku udah di dalam
kamar kost siap melahap novel dengan ketebalan hampir serupa skripsi-skripsi
berdebu di perpus kampus ini, ketika seorang teman kost masuk ke dalam sambil
bergaya ingin mengajak ngobrol. Sebut saja Mawar (oke, nama disamarkan), dia
duduk di sampingku sambil melihat novel tebal itu.
“Eh
ini apa Na? Tebel banget deh. Buat bahan skrispi?” Ehm jadi ketauan deh kalau
aku adalah mahasiswa tingkat akhir yang masih berjuang mengerjakan skripsi
(doain yah).
“Bukan.
Novel.” Jawabku.
“Buset.
Kirain bahan skripsi. Berapa ini?” Dia bertanya bak seorang informan.
“Seratus
lima puluh.”
“Ya
ampun. Ga bisa apa pinjem di perpus gitu. Ya ampun, Na,
kamu ngapain beli novel kaya gini? Emangnya
dibaca?”
Tepat
saat itu hatiku sakit seperti disayat sembilu. Ugh, sakit mang! Oke, logikanya,
kita ini sama-sama mahasiswa, sama-sama terbiasa membaca, entah itu bersifat
akademik atau tidak, ya kan? Masihkah
dia harus berkata seperti itu? Oke masih bisa dimaklum karena dia bukan
mahasiswa sastra seperti aku. Tetapi, lain ceritanya ketika orang yang
berkomentar masalah serius ini (buat seorang Ana ini serius) adalah mahasiswa
sastra.
Mahasiswa
sastra, kemungkinan pertama dia masuk ke jurusan ini adalah: (1) cinta sama
karya sastra, (2) terinspirasi film, (3) mentok karena tidak diterima di
jurusan lain, (4) hanya mengisi kekosongan, dan (5) kebetulan aja diterima
alias iseng. Oke, ada banyak mahasiswa sastra yang rajin membaca, entah dimulai
dari karya sastra pujangga angkatan ’45, hingga karya sastra populer seperti
karya-karya Dee Lestari atau Andrea Hirata. Jika mahasiswa sastra Inggris
bolehlah dari generasi Jane Austen sampai J.K. Rowling. Tetapi ada pula dari
mereka yang tidak suka membaca sama sekali, eh
kepepet baca novel ya hanya di kelas-kelas tertentu, semisal ‘Book Report’[i]
(yang kalau kamu tidak membaca satu novel pun tidak akan lulus ujian). Ya ya
ya, akhirnya komentar ini terlontar dari seorang teman –anak sastra Inggris
juga:
“Ya
ampun Ana bisa ngabisin seratus lima puluh ribu untuk beli novel? Mending buat
beli baju deh.”
Cukup
membuat saya tercengang dan ingin menangis saat itu. Yah, karena hampir
sebagian besar barang yang aku miliki adalah buku, dari majalah bobo hingga
bahkan buku ramalan. Ya, karena aku dan adikku sejak kecil dibiasakan membaca,
jadi kami sudah tidak menemukan alasan: ‘mengapa kita tidak harus membelinya
ketika buku itu bisa untuk dibaca?’
Ya,
semua orang mempunyai ketertarikan mereka masing-masing. Tetapi, ketika sampai
pada masalah membaca, mimpiku adalah orang akan menganggap itu hal biasa dan
lumrah, bahwa membaca itu budaya, dan bahwa menghargai karya sastra itu tingkat
tertinggi dari peradaban manusia.
Ya,
maafkanlah generasi kami.
Maafkanlah.
[i]
Sebuah mata kuliah di jurusan Sastra Inggris UNS yang mengharuskan mahasiswa
untuk membaca novel berbahasa Inggris dan melaporkan isi cerita (dan segala
tetek bengeknya) dalam bentuk essay/paper dengan ujian lisan sesudahnya.