Udara dingin menusuk tulang. Asap dari kopi panasku mengepul, memberikan
rasa hangat ke kulit-kulit tubuhku yang mengering. Kembali aku cek email dari
beberapa teman yang entah memang karena khawatir tak hentinya mengirimiku
pesan, hanya sekedar menanyakan keberadaanku dan kenapa tiba-tiba aku
menghilang begitu saja dari lingkaran mereka.
Kusesap kopi hitam encer ini sambil mendesah pelan. Rokok tidak lagi
berguna bagi mulutku yang terlanjur tidak bisa merasai ini. Dengan malas aku
mulai mengetik email balasan pada salah satu temanku yang paling kerap
menanyakan kabarku, Bon. Bon adalah seorang anak konglomerat dan cukup dengan jentikan tangan hidupnya
sudah mulus tanpa harus jungkir balik untuk mendapatkan apa pun yang dia
inginkan. Lulus dengan dosen pembimbing yang tanpa segan membela mati-matian,
padahal jelas-jelas skripsi Bon hanyalah omong kosong, bahkan kadang aku
menertawainya karena otaknya sesungguhnya tak mampu untuk menulis seperti itu.
“Kamu beli ya Bon?” anak-anak kampus sering meledeknya, dan Bon dengan gaya
khasnya yang cuek hanya nyengir. Tetapi, Bon adalah teman paling baik dan
perhatian yang membuatku nyaman di dekatnya, karena aku yakin dia tidak akan
memanfaatkan orang lain, apalagi teman sendiri. Tentu saja, dia sudah tidak
butuh apa-apa pun lagi untuk sampai berpikiran sejauh itu. Itulah kenapa aku
merasa aman berada di dekatnya, aku tidak akan dimanfaatkan dan dibodohi dengan
pertemanannya.