Udara dingin menusuk tulang. Asap dari kopi panasku mengepul, memberikan
rasa hangat ke kulit-kulit tubuhku yang mengering. Kembali aku cek email dari
beberapa teman yang entah memang karena khawatir tak hentinya mengirimiku
pesan, hanya sekedar menanyakan keberadaanku dan kenapa tiba-tiba aku
menghilang begitu saja dari lingkaran mereka.
Kusesap kopi hitam encer ini sambil mendesah pelan. Rokok tidak lagi
berguna bagi mulutku yang terlanjur tidak bisa merasai ini. Dengan malas aku
mulai mengetik email balasan pada salah satu temanku yang paling kerap
menanyakan kabarku, Bon. Bon adalah seorang anak konglomerat dan cukup dengan jentikan tangan hidupnya
sudah mulus tanpa harus jungkir balik untuk mendapatkan apa pun yang dia
inginkan. Lulus dengan dosen pembimbing yang tanpa segan membela mati-matian,
padahal jelas-jelas skripsi Bon hanyalah omong kosong, bahkan kadang aku
menertawainya karena otaknya sesungguhnya tak mampu untuk menulis seperti itu.
“Kamu beli ya Bon?” anak-anak kampus sering meledeknya, dan Bon dengan gaya
khasnya yang cuek hanya nyengir. Tetapi, Bon adalah teman paling baik dan
perhatian yang membuatku nyaman di dekatnya, karena aku yakin dia tidak akan
memanfaatkan orang lain, apalagi teman sendiri. Tentu saja, dia sudah tidak
butuh apa-apa pun lagi untuk sampai berpikiran sejauh itu. Itulah kenapa aku
merasa aman berada di dekatnya, aku tidak akan dimanfaatkan dan dibodohi dengan
pertemanannya.
Di emailnya Bon bertanya aku di mana dan kenapa tiba-tiba memutuskan
untuk pindah. Tentu saja aku tidak bisa membalas dengan serta-merta: “maaf Bon,
aku sudah nggak tahan sama hidup sialan ini, dan rasanya mau mati saja. Tapi
karena bunuh diri itu dilarang oleh agama-agama manapun, aku minggat saja
dululah, Bon, dari dunia fana itu” bisa-bisa dia terkencing-kencing mendengar
pengakuanku. Bisa aku bayangkan Bon dengan perut sixpacknya akibat rajin
nge-gym akan berjungkir balik dan menunjuk-nunjuk wajahku sambil berseloroh:
“nggak percaya gue, nggak percaya, masa bocah berantakan kaya elo bisa sebosan
itu sama hidup” tentunya. Aku menelengkan kepalaku sambil dengan sekali klik
mengirim balasan emailku yang berisi: “Bro
I am okay, don’t try to contact me, I have burnt my phone.”
Sebenarnya, handphone dan sebagainya masih ada di sini, tapi aku tidak
tahu apa mereka masih bisa berfungsi karena langkanya koneksi, ini masih syukur
ada wifi terpasang di rumah ini. Paling tidak aku masih bisa membalas email
manusia-manusia ingin tahu ini. Sementara aku sudah terlalu bosan untuk mencari
tahu tentang kehidupan mereka.
Aku hanya ingin sendiri.
“Ting tong!”
Suara bel pintu depan sukses membuatku berjengit di kursiku. Ini sudah
terlalu larut bagi seseorang untuk datang bertamu. Keanehan lainnya adalah
tempat ini jauh dari pemukiman penduduk, dan apakah mungkin ada yang tersesat
di tengah hutan?”
“Who is that?” Teriakku.
“Help me.” Terdengar suara
berat seorang pria. Dengan agak sangsi, aku mengambil pemukul bisbol di pojok
ruangan untuk berjaga-jaga. “I am just from
around here.” Suaranya terdengar lirih dan merintih.
Tongkat bisbol yang tadinya mengacung berjaga, aku turunkan karena suara
rintihan itu nampaknya tidak dibuat-buat dan dia benar-benar dalam kesakitan. “Wait me. Tunggu, aku akan bukakan.”
Balasku akhirnya.
“Thank you. Terimakasih
banyak.”
Aku menyeret kakiku menuju pintu depan sambil tergopoh-gopoh membukakan
pintu. Dari secelah pintu yang terbuka, aku melihat sesosok pria seumuranku
meringis karena kesakitan. “Hai, apa yang terjadi denganmu?” tanyaku, buru-buru
membukakan pintu lebih lebar karena
terkejut melihat kaki kirinya yang terluka. “Kakimu… what’s wrong with your freaking left leg?”
aku memapahnya untuk masuk ke dalam.
“Akk… pelan-pelan… aku terluka karena berburu.” Bisiknya. “Thank you for opening the door for me, lad.”
Dengan terseok-seok aku membawanya untuk duduk di sofa satu-satunya di ruang
tengah. “Aku baru tahu ada kabin seperti ini di tengah hutan.” Dia nampak
mengagumi kabinku ini, “amazing.” Gumamnya.
“Ow, thank you.” Sahutku.
“Sebentar akan aku ambilkan obat dan perban untuk lukamu.” Aku meninggalkannya
sendiri, mencoba menemukan obat dan perban di kotak P3K. Sementara di otakku
terbesit, bagaimana bisa kamu membiarkan
orang yang tidak kamu kenal masuk begitu saja ke dalam rumah, bagaimana kalau
dia pembunuh? Kemudian aku mendesah, sambil kembali menghampiri pria yang
sedang memejamkan matanya itu, mungkin menahan sakit, tentu saja dia pembunuh! Pembunuh hewan, dia tadi kan berburu.
Nampaknya luka di kaki kirinya ini terkena jebakan hewan yang memang
biasanya kerap dipasang pemburu di sekitar sini. Di sini masih banyak rusa
berkeliaran. Entah mereka berburu untuk mencari uang atau sekedar hobi. Tapi,
pria di depanku ini mengaku berburu hanyalah hobinya. Sambil meneguk kopinya,
dia tersenyum dan memandangku, “Apa kisahmu hingga membuatmu harus tinggal di
sini?” tanyanya.
Aku hampir tersedak kopi melihat caranya tersenyum, memandang, dan
mengutarakan isi pikirannya. “Aku… berlibur.” Jawabku singkat.
“Berlibur, seorang wanita, di tempat seperti ini, seorang diri…” dia
mengangguk-angguk, “mungkin cukup masuk akal.” Kembali dia menyesap kopinya.
“Aku yakin kamu punya misi.” Lanjutnya kemudian.
“Misi apa contohnya?” celetukku. “Aku bukan bagian dari spesies yang
kemana-mana di otaknya penuh dengan misi, honestly
speaking, mister…?”
“Oh iya dari tadi kita ngobrol, tapi belum kenalan.” Dia terkekeh,
menyodorkan tangannya untuk dijabat, “Roland. Roland Charpenter.”
“Rose. Rosemary May.” Balasku sambil menjabat tangannya. “Atau kamu boleh
memanggilku sesukamu.” Aku terkekeh sendiri. Terdengar aneh memang wanita
sepertiku bernama seindah milik gadis-gadis bangsawan. Wanita sepertiku, yang
berambut cepak berantakan, beberapa tato di pundak, kaki, dan pinggang dengan
kaos oblong seadanya dan celana pendek tua. Wanita dari alam antah berantah
dengan nama seindah berlian. Ya, aku.
“Wow, nama yang diluar dugaan, Mary.” Ucapnya. “Boleh kan aku memanggilmu
Mary?”
“Oh, terserah, kalau itu memang membuatmu lebih nyaman.” Sahutku. Aku
tidak pernah masalah dengan cara orang memanggilku. Memang dengan namaku itu
orang bisa saja menyebut dengan berbeda-beda: Rose, Rosie, Mar, Mary, May, dan
terkadang juga Rosia atau Maria –entah dari mana idenya menambahkan akhiran -ia
itu. Tapi, Bon selalu memanggilku dengan Rose, katanya nama itu cocok sekali
denganku. Katanya aku ini contoh nyata dari mawar. Aku hanya tertawa dan
mengangguk santai mendengar kata-katanya. “Roland, aku takut kamu tidak akan
bisa pulang dengan kaki terluka seperti itu, apa kamu mau menginap saja?” tanpa
sadar aku menawari Roland untuk menginap di tempatku. Nampaknya ada yang salah
dengan jalan pikiranku. Bagaimana bisa aku membiarkan Roland yang merupakan orang
asing untuk tidur di bawah atap yang
sama denganku.
“Memangnya aku boleh?” tanyanya, agak meragukan tawaranku. Aku
mengangguk.
“Kalau kamu memaksakan untuk pulang, ya silahkan sih, aku tidak memaksa,
hanya menawari.” Terangku. Dia tersenyum, lalu mengangguk sekilas.
“Baiklah, aku akan menginap. Aku akan tidur di sini, dan janji aku tidak
akan melakukan hal-hal aneh.” Sahutnya sambil tergelak. “Thank you very much, Mary.”
“Doesn’t matter, Roland.”
Bisikku.
-tbc-
No comments:
Post a Comment