Monday, December 17, 2012

[Today's Story] GENERASI LUPA BUKU



“Ya ampun Ana bisa ngabisin seratus lima puluh ribu untuk beli novel? Mendingan buat beli baju deh.”
“Ya ampun, Na, kamu ngapain beli novel kaya gini? Emangnya dibaca?”
Oke, namaku Ana dan aku anak gaul #eh yang suka ngabisin duit buat beli buku dan novel, kadang juga komik. Kisah ini dimulai setelah aku membeli novel terjemahan terbaru karya J.K Rowling (pada tahu kan, itu tuh ibunya Harry Potter? Oke skip ini) berjudul ‘The Casual Vacancy’ yang kebetulan seharga seratus lima puluh ribu rupiah. Sebenarnya standar sih, karena yah, kita tahu kan karya sastra itu mahal harganya, ide itu mahal harganya, dan karya sastra wajib dihargai dengan nilai yang pantas.
Sore itu sehabis mandi aku udah di dalam kamar kost siap melahap novel dengan ketebalan hampir serupa skripsi-skripsi berdebu di perpus kampus ini, ketika seorang teman kost masuk ke dalam sambil bergaya ingin mengajak ngobrol. Sebut saja Mawar (oke, nama disamarkan), dia duduk di sampingku sambil melihat novel tebal itu.
“Eh ini apa Na? Tebel banget deh. Buat bahan skrispi?” Ehm jadi ketauan deh kalau aku adalah mahasiswa tingkat akhir yang masih berjuang mengerjakan skripsi (doain yah).
“Bukan. Novel.” Jawabku.
“Buset. Kirain bahan skripsi. Berapa ini?” Dia bertanya bak seorang informan.
“Seratus lima puluh.”
“Ya ampun. Ga bisa apa pinjem di perpus gitu. Ya ampun, Na, kamu ngapain beli novel kaya gini? Emangnya dibaca?”
Tepat saat itu hatiku sakit seperti disayat sembilu. Ugh, sakit mang! Oke, logikanya, kita ini sama-sama mahasiswa, sama-sama terbiasa membaca, entah itu bersifat akademik atau tidak, ya kan? Masihkah dia harus berkata seperti itu? Oke masih bisa dimaklum karena dia bukan mahasiswa sastra seperti aku. Tetapi, lain ceritanya ketika orang yang berkomentar masalah serius ini (buat seorang Ana ini serius) adalah mahasiswa sastra.
Mahasiswa sastra, kemungkinan pertama dia masuk ke jurusan ini adalah: (1) cinta sama karya sastra, (2) terinspirasi film, (3) mentok karena tidak diterima di jurusan lain, (4) hanya mengisi kekosongan, dan (5) kebetulan aja diterima alias iseng. Oke, ada banyak mahasiswa sastra yang rajin membaca, entah dimulai dari karya sastra pujangga angkatan ’45, hingga karya sastra populer seperti karya-karya Dee Lestari atau Andrea Hirata. Jika mahasiswa sastra Inggris bolehlah dari generasi Jane Austen sampai J.K. Rowling. Tetapi ada pula dari mereka yang tidak suka membaca sama sekali, eh kepepet baca novel ya hanya di kelas-kelas tertentu, semisal ‘Book Report’[i] (yang kalau kamu tidak membaca satu novel pun tidak akan lulus ujian). Ya ya ya, akhirnya komentar ini terlontar dari seorang teman –anak sastra Inggris juga:
“Ya ampun Ana bisa ngabisin seratus lima puluh ribu untuk beli novel? Mending buat beli baju deh.”
Cukup membuat saya tercengang dan ingin menangis saat itu. Yah, karena hampir sebagian besar barang yang aku miliki adalah buku, dari majalah bobo hingga bahkan buku ramalan. Ya, karena aku dan adikku sejak kecil dibiasakan membaca, jadi kami sudah tidak menemukan alasan: ‘mengapa kita tidak harus membelinya ketika buku itu bisa untuk dibaca?’
Ya, semua orang mempunyai ketertarikan mereka masing-masing. Tetapi, ketika sampai pada masalah membaca, mimpiku adalah orang akan menganggap itu hal biasa dan lumrah, bahwa membaca itu budaya, dan bahwa menghargai karya sastra itu tingkat tertinggi dari peradaban manusia.
Ya, maafkanlah generasi kami.
Maafkanlah.


[i] Sebuah mata kuliah di jurusan Sastra Inggris UNS yang mengharuskan mahasiswa untuk membaca novel berbahasa Inggris dan melaporkan isi cerita (dan segala tetek bengeknya) dalam bentuk essay/paper dengan ujian lisan sesudahnya.