Wednesday, April 10, 2013

[01] ROSEMARY MAY


Udara dingin menusuk tulang. Asap dari kopi panasku mengepul, memberikan rasa hangat ke kulit-kulit tubuhku yang mengering. Kembali aku cek email dari beberapa teman yang entah memang karena khawatir tak hentinya mengirimiku pesan, hanya sekedar menanyakan keberadaanku dan kenapa tiba-tiba aku menghilang begitu saja dari lingkaran mereka.
Kusesap kopi hitam encer ini sambil mendesah pelan. Rokok tidak lagi berguna bagi mulutku yang terlanjur tidak bisa merasai ini. Dengan malas aku mulai mengetik email balasan pada salah satu temanku yang paling kerap menanyakan kabarku, Bon. Bon adalah seorang anak konglomerat  dan cukup dengan jentikan tangan hidupnya sudah mulus tanpa harus jungkir balik untuk mendapatkan apa pun yang dia inginkan. Lulus dengan dosen pembimbing yang tanpa segan membela mati-matian, padahal jelas-jelas skripsi Bon hanyalah omong kosong, bahkan kadang aku menertawainya karena otaknya sesungguhnya tak mampu untuk menulis seperti itu. “Kamu beli ya Bon?” anak-anak kampus sering meledeknya, dan Bon dengan gaya khasnya yang cuek hanya nyengir. Tetapi, Bon adalah teman paling baik dan perhatian yang membuatku nyaman di dekatnya, karena aku yakin dia tidak akan memanfaatkan orang lain, apalagi teman sendiri. Tentu saja, dia sudah tidak butuh apa-apa pun lagi untuk sampai berpikiran sejauh itu. Itulah kenapa aku merasa aman berada di dekatnya, aku tidak akan dimanfaatkan dan dibodohi dengan pertemanannya.
Di emailnya Bon bertanya aku di mana dan kenapa tiba-tiba memutuskan untuk pindah. Tentu saja aku tidak bisa membalas dengan serta-merta: “maaf Bon, aku sudah nggak tahan sama hidup sialan ini, dan rasanya mau mati saja. Tapi karena bunuh diri itu dilarang oleh agama-agama manapun, aku minggat saja dululah, Bon, dari dunia fana itu” bisa-bisa dia terkencing-kencing mendengar pengakuanku. Bisa aku bayangkan Bon dengan perut sixpacknya akibat rajin nge-gym akan berjungkir balik dan menunjuk-nunjuk wajahku sambil berseloroh: “nggak percaya gue, nggak percaya, masa bocah berantakan kaya elo bisa sebosan itu sama hidup” tentunya. Aku menelengkan kepalaku sambil dengan sekali klik mengirim balasan emailku yang berisi: “Bro I am okay, don’t try to contact me, I have burnt my phone.
Sebenarnya, handphone dan sebagainya masih ada di sini, tapi aku tidak tahu apa mereka masih bisa berfungsi karena langkanya koneksi, ini masih syukur ada wifi terpasang di rumah ini. Paling tidak aku masih bisa membalas email manusia-manusia ingin tahu ini. Sementara aku sudah terlalu bosan untuk mencari tahu tentang kehidupan mereka.
Aku hanya ingin sendiri.
“Ting tong!”
Suara bel pintu depan sukses membuatku berjengit di kursiku. Ini sudah terlalu larut bagi seseorang untuk datang bertamu. Keanehan lainnya adalah tempat ini jauh dari pemukiman penduduk, dan apakah mungkin ada yang tersesat di tengah hutan?”
Who is that?” Teriakku.
Help me.” Terdengar suara berat seorang pria. Dengan agak sangsi, aku mengambil pemukul bisbol di pojok ruangan untuk berjaga-jaga. “I am just from around here.” Suaranya terdengar lirih dan merintih.
Tongkat bisbol yang tadinya mengacung berjaga, aku turunkan karena suara rintihan itu nampaknya tidak dibuat-buat dan dia benar-benar dalam kesakitan. “Wait me. Tunggu, aku akan bukakan.” Balasku akhirnya.
Thank you. Terimakasih banyak.”
Aku menyeret kakiku menuju pintu depan sambil tergopoh-gopoh membukakan pintu. Dari secelah pintu yang terbuka, aku melihat sesosok pria seumuranku meringis karena kesakitan. “Hai, apa yang terjadi denganmu?” tanyaku, buru-buru membukakan pintu lebih lebar karena  terkejut melihat kaki kirinya yang terluka. “Kakimu… what’s wrong with your freaking left leg?” aku memapahnya untuk masuk ke dalam.
“Akk… pelan-pelan… aku terluka karena berburu.” Bisiknya. “Thank you for opening the door for me, lad.” Dengan terseok-seok aku membawanya untuk duduk di sofa satu-satunya di ruang tengah. “Aku baru tahu ada kabin seperti ini di tengah hutan.” Dia nampak mengagumi kabinku ini, “amazing.” Gumamnya.
“Ow, thank you.” Sahutku. “Sebentar akan aku ambilkan obat dan perban untuk lukamu.” Aku meninggalkannya sendiri, mencoba menemukan obat dan perban di kotak P3K. Sementara di otakku terbesit, bagaimana bisa kamu membiarkan orang yang tidak kamu kenal masuk begitu saja ke dalam rumah, bagaimana kalau dia pembunuh? Kemudian aku mendesah, sambil kembali menghampiri pria yang sedang memejamkan matanya itu, mungkin menahan sakit, tentu saja dia pembunuh! Pembunuh hewan, dia tadi kan berburu.
Nampaknya luka di kaki kirinya ini terkena jebakan hewan yang memang biasanya kerap dipasang pemburu di sekitar sini. Di sini masih banyak rusa berkeliaran. Entah mereka berburu untuk mencari uang atau sekedar hobi. Tapi, pria di depanku ini mengaku berburu hanyalah hobinya. Sambil meneguk kopinya, dia tersenyum dan memandangku, “Apa kisahmu hingga membuatmu harus tinggal di sini?” tanyanya.
Aku hampir tersedak kopi melihat caranya tersenyum, memandang, dan mengutarakan isi pikirannya. “Aku… berlibur.” Jawabku singkat.
“Berlibur, seorang wanita, di tempat seperti ini, seorang diri…” dia mengangguk-angguk, “mungkin cukup masuk akal.” Kembali dia menyesap kopinya. “Aku yakin kamu punya misi.” Lanjutnya kemudian.
“Misi apa contohnya?” celetukku. “Aku bukan bagian dari spesies yang kemana-mana di otaknya penuh dengan misi, honestly speaking, mister…?”
“Oh iya dari tadi kita ngobrol, tapi belum kenalan.” Dia terkekeh, menyodorkan tangannya untuk dijabat, “Roland. Roland Charpenter.”
“Rose. Rosemary May.” Balasku sambil menjabat tangannya. “Atau kamu boleh memanggilku sesukamu.” Aku terkekeh sendiri. Terdengar aneh memang wanita sepertiku bernama seindah milik gadis-gadis bangsawan. Wanita sepertiku, yang berambut cepak berantakan, beberapa tato di pundak, kaki, dan pinggang dengan kaos oblong seadanya dan celana pendek tua. Wanita dari alam antah berantah dengan nama seindah berlian. Ya, aku.
“Wow, nama yang diluar dugaan, Mary.” Ucapnya. “Boleh kan aku memanggilmu Mary?”
“Oh, terserah, kalau itu memang membuatmu lebih nyaman.” Sahutku. Aku tidak pernah masalah dengan cara orang memanggilku. Memang dengan namaku itu orang bisa saja menyebut dengan berbeda-beda: Rose, Rosie, Mar, Mary, May, dan terkadang juga Rosia atau Maria –entah dari mana idenya menambahkan akhiran -ia itu. Tapi, Bon selalu memanggilku dengan Rose, katanya nama itu cocok sekali denganku. Katanya aku ini contoh nyata dari mawar. Aku hanya tertawa dan mengangguk santai mendengar kata-katanya. “Roland, aku takut kamu tidak akan bisa pulang dengan kaki terluka seperti itu, apa kamu mau menginap saja?” tanpa sadar aku menawari Roland untuk menginap di tempatku. Nampaknya ada yang salah dengan jalan pikiranku. Bagaimana bisa aku membiarkan Roland yang merupakan orang asing  untuk tidur di bawah atap yang sama denganku.
“Memangnya aku boleh?” tanyanya, agak meragukan tawaranku. Aku mengangguk.
“Kalau kamu memaksakan untuk pulang, ya silahkan sih, aku tidak memaksa, hanya menawari.” Terangku. Dia tersenyum, lalu mengangguk sekilas.
“Baiklah, aku akan menginap. Aku akan tidur di sini, dan janji aku tidak akan melakukan hal-hal aneh.” Sahutnya sambil tergelak. “Thank you very much, Mary.”
Doesn’t matter, Roland.” Bisikku.
-tbc-

No comments:

Post a Comment